Maafkan Aku, Ibu
Kebanyakan orang bilang
lebih baik punya wajah pas-pasan asalkan banyak uang. Toh dengan uang nanti
bisa ke salon, bisa operasi plastik, semua yang nggak sempurna bisa dibuat
sempurna dengan uang. Contohnya artis-artis Korea yang kebanyakan wajahnya
sudah nggak orisinil lagi alias sudah divermak secantik dan
seganteng-gantengnya.
Hidung yang pesek bisa
jadi dibuat mancung, muka ditirusin, alis dan bibir disulam, gigi dikawatin,
warna kulit bisa dibuat kinclong, body dipoles pakai fitness tiap minggu,
intinya semua bisa dilakukan kalau ada uang.
Dan itu terlintas hampir
di setiap momen di pikiranku. Apalagi lingkungan sekolahku yang mayoritas anak
konglomerat semua. Khususnya anak-anak di kelasku, hanya ada 2 orang yang
setiap hari naik angkot ke sekolah, yaitu “aku” dan “Meli” tetangga dekat rumah
sekaligus sahabatku sejak kecil. Sisanya?
Ada si cantik Stefani
yang bapaknya punya hotel di 10 provinsi dan semuanya hotel berbintang 5.
Selain cantik, Stefani juga jago bahasa asing. Dia sering mengikuti dan
menjuarai kompetisi debat hingga ke tingkat nasional.
Ada juga si ganteng
Gilang, cowok paling beken di sekolah. Ayah Gilang seorang pengusaha sukses.
Bisnisnya merebak hingga ke luar negeri. Entah apa jenis usahanya yang jelas setiap
hari Gilang selalu ganti mobil ke sekolah. Selain itu, ayahnya juga donatur
terbesar di sekolah ini, sehingga guru-guru di sekolah pun sangat segan
padanya.
Terus...ada lagi Meike si
cewek blasteran Indo-Jerman yang harga gadgetnya bisa sampai puluhan juta.
Handini cewek paling sexy
yang make-up nya seharga jatah uang jajanku selama 3 bulan, Faris si cowok
berkulit putih anak pemilik pabrik mobil ternama, Eko sang model di majalah
internasional, Yasmin sang puteri keraton yang lemah lembut dan masih keturunan
dari Nyi Roro Mendut entah generasi keberapa. Semuanya anak orang kaya. Dan
apalah daya orang tuaku bukan seorang raja atau ratu yang punya istana. Ayahku
meninggal saat aku berusia 8tahun. Ayahku yang bekerja sebagai pengebor sumur
saat itu sedang menangani proyek pengeboran sumur minyak besar-besaran di
sebuah industri minyak terbesar di Asia Tenggara. Sementara ibuku seorang
pegawai toko yang disenangi oleh atasannya karena kecerdasan dan loyalitasnya
dalam bekerja. Saat itu kondisi keluarga kami masih di taraf berkecukupan.
Bahkan ayahku berencana membeli rumah di kawasan elit jika proyeknya nanti
sudah selesai. Ayah juga menjanjikan liburan ke Singapura dan membelikanku
mainan mahal. Namun naasnya harapan memang tak selalu sesuai dengan kenyataan.
Ayahku mengalami kecelakaan daat sedang mengebor sumur, ayah dan 2 orang
rekannya meninggal karena menghirup gas beracunyang berasal dari perut bumi.
Ketika ditemukan tubuhnya sudah membiru, begitu juga 2 orang lainnya yang salah
satunya adalah ayah Meli.
Sejak saat itu ibuku
menjadi tulang punggung keluarga. Namun 1 tahun setelah kepergian Ayah, Ibu
mengalami kerusakan pada retina matanya, dan sejak itu Ibu divonis buta
permanen, kecuali jika ada pendonor untuk matanya. Namun apalah daya, jangankan
untuk membayar pendonor, uang peninggalan Ayah dan tabungan ibu sudah habis
untuk biaya pengobatan. Hanya rumah ini satu-satunya yang tersisa, dan tentunya
harapan-harapan serta janji Ayah pun tersisa impian belaka. Ibu buta dan tidak
bisa lagi bekerja di tempat biasa ia bekerja. Sejak itu lengkap sudah
penderitaanku, hidup sebagai anak yatim, miskin, dengan seorang Ibu yang buta
dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Lamunanku buyar ketika
sebuah angkot biru berhenti persis di depanku. Tampaknya seseorang
melambai-lambaikan tangan dari dalam. Jelas saja aku mengenalnya, siapa lagi
anak remaja berseragam sekolah SMA Internasional Pelita Kencana yang suka naik
angkot selain Meli dan aku tentunya.
“Hai Priska...kok
pagi-pagi muka kamu udah kusut banget kaya baju nggak disetrika?” Sapa Meli
setibaku di dalam angkot.
Aku tidak menjawab
pertanyaannya barusan, mataku sibuk mengamati pemandangan di luar jendela sana.
Ada puluhan gedung bertingkat berdiri kokoh di sana. Bangunan hotel, apartemen,
mall, kantor-kantor, beberapa rumah megah milik konglomerat ibu kota.
Seandainya saja aku anak dari salah satu pemilik bangunan-bangunan megah itu
pasti aku idak perlu lagi naik angkot ke sekolah, tidak perlu lagi pagi-pagi
begini harus mencium bau pasar yang menyengat, aroma ketiak sang supir yang
entah berapa hari mungkin tidak sempat mandi, atau tidak perlu lagi lari-lari
di gang kecil mengejar angkot paling pagi supaya tidak terlambat ke sekolah,
ahh begitu banyak penolakan-penolakan di diri ini atas nasib hidupku. Seandainya
Ayah tidak pergi secepat itu, seandainya ibuku
tidak buta, seandainya aku anak orang kaya, seandainya....
“Hei Pris ! Kamu
ditanyain malah bengong? Mikirin apa sih kamu?” Teriakan Meli mengejutkanku dan
membuayarkan lagi lamunan dan angan-anganku. Aku yang ditanya kembali hanya
diam, namun kali ini dengan menggelengkan kepala.
5 menit kemudian angkot
biru yang kami tumpangi berhenti tepat 100 m dari gerbang sekolah. Aku dan Meli
segera turun setelah memberikan beberapa lembar uang kepada supir angkot.
Bangunan megah dan elit di depan kami sudah cukup ramai. Mobil-mobil mewah
keluaran terkini sudah berlalu lalang memasuki are sekolah. Mobil-mobil antar
jemput, taksi pun turut memadati pemandangan di depan pintu masuk utama. Aku
dan Meli berjalan melewati mobil-mobil mewah itu. Mata kami terbiasa menyaksikan mobil mewah yang
harganya mungkin hingga milyaran.
Beberapa pasang mata
memandang kami sinis, mengoreksi penampilan kami dari ujung kepala hingga ujung
kaki, lalu berbisik-bisik satu sama lain, dan diakhiri dengan kata-kata
sindiran yang membuatku muak dan kesal dibuatnya. Berbeda dengan Meli, dia
selalu tidak peduli dan mengingatkanku untuk tidak terlalu menanggapi sikap
mereka.
Suasana kelas hari ini
sedikit berbeda. Anak-anak di kelas kami sedang sibuk membicarakan sesuatu
sambil memegang secarik kertas yang bentuknya mirip seperti undangan. Aku dan
Meli yang baru saja tiba tidak banyak bicara, kami segera meletakkan tas kami
dan duduk manis sambil menyimak kesibukan di depan kami.
Tiba-tiba seorang gadis
berambut pirang mendekati kami dengan menggenggam 2 carik undangan di
tangannya.
“Hai Priska, Meli, maaf
mengganggu sebentar, aku cuma mau ngasih ini”, gadis itu menyerahkan undangan
tersebut kepada kami.
“Undangan?”Tanyaku dan
Meli serempak.
“Iya, itu undangan ulang
tahunku, jangan nggak datang ya”, gadis itu menatap kami penuh harap.
Tatapan tulus, tidak
seperti kebanyakan orang di sekolah kami. Dinda adalah salah satu dari orang
baik di antara 1000 orang di sekolah ini. Dinda tidak pernah merndahkan kami
sebagai orang miskin. Sebagai anak pemilik sumur minyak nomor 1 di Asia
Tenggara, Dinda sangat tahu persis mengenai latar belakang Ayah kami yang
meninggal karena tragedi pengeboran sumur minyak beberapa tahun silam.
Aku menatap udangan di tanganku.
Tertulis di sana tempat pelaksanaanya akan diadakan di rumah. Dinda dengan
dresscode gaun malam berwarna jingga, aku menelan udah.
“Gaun?” Dari mana aku
bisa punya gaun?”Pikiranku pun mulai bersliweran membayangkan mengenai
dresscode pesta tersebut.
Aku menatap Meli yang
juga tampak bingung setelah membaca undangan tersebut. Sepertinya permasalahan
kami sama, darimana kami bisa mendapatkan gaun hanya dalam waktu 2 hari?
*******
Sepulang sekolah aku dan
Meli memutuskan untuk pergi mencari gaun di sebuah Mall di pusat Ibu Kota.
Sesampainya di sana, aku dan Meli tertarik untuk melihat-lihat gaun di sebuah
butik yang terbilang cukup mewah.
“Astaga...! Lihat deh
Pris, masa satu gaun harganya 5 juta?” Teriak Meli histeris ketika melihat
bandrol harga yang tertera di gaun tersebut, membuat orang-orang di sekeliling
kami menoleh seketika.
Aku yang mendengar
teriakan Meli cepat-cepat menutup mulut gadis berambut ikal itu dan segera
membawanya keluar dari butik. Kemudian kami memutuskan untuk melihat gaun di
butik lainnya, namun semua harga gaun nyaris tak ada yang bersahabat dengan
keuangan kami. Gaun termurah tetap di atas harga 1 juta. Aku dan Meli akhirnya
menyerah dan memutuskan untuk pulang.
Setibanya di persimpangan
gang rumah kami, tiba-tiba Meli berseru. “Oh iya, aku tahu dimana butik yang
bisa menyewakan gaun dengan harga yang nggak terlalu mahal,” Meli menatapku
dengan penuh keyakinan. Aku yang melihat ekspresinya ikut bersemangat, berharap
kali ini nasib baik berpihak pada kami. Lalu kami pun segera menuju ke sebuah
butik yang lokasinya tidak jauh dari gang rumah kami.
Butik tersebut tidak
terlalu besar, bangunan eksteriornya di desain minimalis, di bagian pintu
masuknya terpampang papan kecil bertuliskan “Butik Anyelir, Menyewakan Gaun
dengan Harga Terjangkau”. Aku dan Meli segera memasuki butik tersebut.
Gaun yang disediakan
tidak terlalu mewah, namun ada banyak pilihan di sana. Aku tertarik pada sebuah
gaun jingga yang dipajang disudut ruangan. Sementara Meli sudah asik dengan
gaun pilihannya. Aku menyentuh ujung gaun tersebut, bahannya lembut dan jatuh,
terlihat simple namun sangat elegan. Aku melihat harga sewa di bandrol yang
tertera di sana, Rp.300.000/hari. Aku terkesima, “tidak terlalu mahal”,
pikirku. Aku meraih dompet di tasku, ada uang Rp.150.000 di sana, hanya separuh
harga. “Huh,” aku mendengus kesal.
“Sudah dapat gaunnya
Pris?”Tanya Meli.
“Ada sih, tapi uangku
masih kurang setengahnya”, jawabku putus asa. “Kamu sendiri gimana Mel?”
Tanyaku kembali.
“Ada juga, tapi uangku
juga masih kurang”, jawab Meli tak kalah putus asanya denganku. “Ya sudah kalau
begitu, besok kita ke sini lagi, aku mau coba cari tambahan uang untuk sewa
gaun ini”, kata Meli lagi.
“Dari mana aku bisa dapat
uang tambahan dalam waktu semalam? Belum lagi aku tidak punya sepatu dan tas
yang bagus untuk pergi ke acara tersebut”, pikirku.
Malam ini jelas pikiranku
tak tenang, sepertinya sangat tidak mungkin bagiku untuk pergi ke pesta itu.
Terlintas lagi pikiran, “Andai saja aku anak orang kaya, andai saja ibuku tidak
buta”.
Tok...tok...tok...
terdengar pintu kamarku di ketuk.
“Priska sayang, ayo kita
makan malam”, kata Ibu.
Aku bangkit dari kasur
dengan malas, lalu melangkah menuju dapur. Aku melihat Ibu sedang sibuk
menyiapkan piring, matanya yang tidak bisa melihat itu mengerjap-ngerjap dalam
keremangan lampu rumah kami yang memang hanya berapa watt. Tangannya
meraba-raba meraih sendok. Aku hanya terdiam duduk di kursi lusuh kami. Sudah
menjadi pemandangan yang lumrah di rumah ini, menyaksikan sosok wanita buta itu
selalu banjir peluh , sibuk dengan wajan dan panci baik itu milik sendiri
ataupun milik tetangga, dan aku anggap itu memang sudah jadi kewajiban seorang
ibu untuk meladeni dan menafkahi anaknya.
“Priska, kamu sudah di
situ nak?” Tanya ibu seraya meraba kursi memastikan aku sudh berada di sana.
Aku hanya terdiam tak
menghiraukan pertanyaan ibu. Tanganku membuka tutup saji di atas meja, melihat
lauk yang tersedia di sana.
“Huh, tempe lagi tempe
lagi, sekali-sekali dong masak ikan atau daging, masa dikasih tempe terus !”
kataku ketus.
“Sayang...maafkan ibu ya,
ibu belum gajian bulan ini, ibu janji kalau sudah gajian nanti ibu masakan opor
ayam kesukaan kamu”, jawab ibu lembut.
“Memang kapan ibu
gajian?” selidikku.
“ Besok ibu gajian
nak,”jawab Ibu sambil menyendokkan nasi di piringku.
“Kalau begitu boleh dong
aku minta uang 300.000?”Tanyaku. Ini kesempatan bagiku untuk bisa menyewa gaun.
“Untuk apa uang sebanyak
itu nak? Bukannya uang beasiswa sudah cukup untuk uang jajan kamu?” Jawab Ibu.
“Ibu ini kenapa sih?
Wajar kan kalau seorang anak minta uang sama ibunya?” Jawabku ketus.
“Iya...tapi kan uang
gajian ibu tidak seberapa nak, hanya cukup untuk makan sehari-hari,” jawab ibu
tetap degan suara lembut.
“Dari dulu sama saja, Ibu
nggak pernah bisa menuruti keinginanku, lebih baik aku berhenti saja jadi anak
Ibu !” Jawabku lagi.
Aku meninggalkan meja
makan, membiarkan Ibu yang membisu mendengar kalimatku. Sebenarnya ini bukan
kali pertama aku mengatakan hal semacam itu pada ibu. Setiap ada perdebatan
kecil aku selalu mengungkit dan menyalahkan keadaan kami yang serba kekurangan.
Aku sudah benar-benar muak hidup susah dan dihina, dan bahkan hingga detik ini
tidak ada yang tahu siapa dan seperti apa ibuku yang sebenarnya. Seorang wanita
buta yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, hanya Meli yang tahu semua
latar belakangku, selebihnya tidak ada lagi yang boleh tahu mengenai hal ini,
tidak boleh !
Keesokan harinya aku
berangkat sekolah seperti biasa bersama Meli “naik angkot”. Wajah Meli terlihat
lebih cerah hari ini, sebaliknya wajahku terlihat muram dan tak bersemangat.
Setibanya di sekolah,
kami berpapasan dengan genk “cewek-cewek sexy” begitu mereka menyebutnya. Genk
tersebut berjumlah 6 orang dan diketuai oleh Indira gadis keturunan Canada.
Gadis dengan rambut pirang sebahu, kulit putih bersih, rok di atas lutut, serta
baju seraga yang tampak sangat pas di badannya alias ngepress. Indira and the
genk mencegat langkah kami di koridor, mata lentiknya memandangi kami dari
ujung kepala hingga ujung kaki.
“Oh jadi ini 2 cewek dari
kelas rendahan yang beruntung bisa sekolah di sini?” Celetuk Indira dengan
wajah sinisnya.
“Betul In, benar-benar nggak
tahu diri nih orang kismin berani sekolah di tempat elit begini”, celetuk
temannya yang lain.
“Heh ! Nama kamu Priska
kan?” Tanya Indira.
Aku menoleh ke kanan dan
ke kiri, “Sorry, ngomong sama siapa ya?” Jawabku tak kalah sinisnya.
“Oh...berani kamu ya?
Jelaslah aku lagi ngomong sama kamu, siapa lagi sih cewek kismin yang punya
nama Priska Putri Riana selain kamu di sekolah ini?” Jawab Indira.
Kali ini emosiku seakan
tak dapat ku tahan lagi, tanpa sadar aku menampar mulutnya hingga berdarah.
Indira mengaduh sambil memegangi mulutnya. Wajahnya yang putih memerah,
sementara Meli segera menarik tanganku sebelum teman-temannya yang lain
mengeroyok kami.
Meli membawaku ke toilet,
dia memarahiku habis-habisan.
“Priska, apa yang kamu
lakukan? Kamu nggak berpikir panjang apa akibatnya kala kamu sampai berurusan
dengan anak-anak di sekolah ini khususnya si biang kerok Indira?” Kata Meli
dengan wajah penuh kekhawatiran.
“Aku udah capek Mel
dihina terus, aku muak ! Aku benci dengan statusku sebagai orang miskin !”
Jawabku dengan nafas tersengal menahan emosi.
“Iya aku tahu, tapi kita
harus sabar, jangan sampai terpancing amarah, kita harus tetap bersyukur bisa
dapat beasiswa dan sekolah di sini Pris !” Kata Meli.
“Apa? Sabar? Bersyukur?
Sampai kapan Mel? Sampai harga diri kita benar-benar diinjak oleh mereka
orang-orang kaya sombong?” Jawabku tak kuasa menahan sesak di dada. “Kamu enak
ibumu masih bisa bekerja sebagai guru dan masih cantik, sementara aku? Ibuku
cacat ! Hanya pembantu rumah tangga, mau disembunyikan dimana mukaku Mel? Aku
malu ! Jawabku lagi, kali ini aku benar-benar melampiaskan apa yang ada di
dalam benakku selama ini.
“Astaghfirullah
Priska...kamu nggak boleh bicara begitu, biar bagaimana pun beliau itu orang
tua kamu, ibu kandung kamu yang sudah melahirkan dan membesarkan kamu ! Jawab
Meli.
“Kalau dia memang ibu
kandung yang menyayangiku, harusnya dia bisa membahagiakan anaknya Mel !
Harusnya dia bisa memenuhi keinginan anaknya !” Emosiku semakin meledak, lalu
aku melangkah pergi.
“Priska tunggu ! Kamu mau
kemana? Priskaa...” Meli mengejarku.
Aku mempercepat langkahku
menuju gerbang sekolah. Aku tak mempedulikan waktu yang sudah menunjukkan pukul
7.15 menit, 5 menit lagi bel masuk berbunyi. Aku juga tak mempedulikan satpam
yang berteriak memanggilku menyuruh kembali, juga Meli yang ku lihat dia sempat
jatuh tersungkur karena mengejarku.
Aku memutuskan untuk
membolos hari ini. Aku segera naik angkot menuju suatu tempat, aku ingin
mengunjungi makam ayahku. Sudah lama sekali aku tidak ke sini. Terakhir kali
saat Ibu dirawat di RS 7 tahun silam. Saat itu hujan deras, usiaku masih 9
tahun. Aku menangis di depan pusara ini, menyalahi nasibku sebagai anak yatim
dan nasib buruk ibu yang berdampak bagi masa depanku.
Saat ini usiaku memasuki
16 tahun, aku telah tumbuh menjadi gadis remaja. Tubuhku tumbuh tinggi dengan
kulit sawo matang, rambut lurus hitam, sangat mirip dengan Ayah. Namun yang
berbeda hanya fisikku, hatiku masih sama seperti 7 tahun yang lalu. Hari ini
aku mengunjungi makam ayah kembali menuntut keadilan dan janji ayah 9 tahun
lalu.
Aku menaburkan bunga di
atas makam ayah yang tampak terawat. Aku menangis tersedu mengadukan isi hatiku
seraya memeluk pusara ayah. Namun tak lama kemudian aku mendengar lengkah kaki
dan suara tongkat beradu dengan tanah. Aku menoleh, sosok wanita kurus dengan
sebuah tongkat di tangan berjalan meraba-raba. Tentu aku sangat mengenali sosok
tersebut, dia Ibu, ibuku yang buta, ibuku yang malang.
Aku segera beranjak
ketika jarak ibu sudah semakin dekat. Aku menjauh beberapa langkah, aku tidak
ingin ibu mengetahui kehadiranku. Aku memndangi ibu yang kini telah berada
tepat di depan pusara Ayah. Tangannya bergetar mencari letak pusara, kemudian
mendekap dan menciumnya. Tidak seperti aku, ibu tidak sedang mengadukan nasin
atau menyalahi takdir di depan pusara ayah. Tangannya meraih sesuatu dari
tasnya, sebuah Al-Qur’an brilie miliknya. Aku memandaingi wajah tuanya dari
jarak 5 meter tempatku berdiri. Sesekali ia mengusap matanya yang basah. Aku
yang menyaksikan tak kuasa berdiri di sana terlalu lama. Kemudian aku beranjak
pergi meninggalkan ibu yang tengah hanyut dengan lantunan suci ayat Al-Qur’an.
Aku kembali menaiki
sebuah angkot, lalu turun di dekat gang kecil rumahku. Namun aku tak berniat
untuk pulang, aku berjalan menuju ke sebuah butik kecil tempat gaun itu berada.
Aku membuka pintu, waktu
masih menunjukkan pukul 10, masih tampak sepi. Beberapa pelayan terlihat sedang
membereskan barang-barang yang nampaknya baru saja dikembalikan dari sewaan.
Pelayan tersebut tersenyum dan mempersilahkanku. Aku membalas senyumnya.
Tanpa banyak bicara aku
segera berjalan menuju tempat tujuanku. Tempat dimana gaun jingga itu berada.
Namun aku sangat terkejut ketika mendapati gaun tersebut sudah tidak ada lagi
di sana. Apakah seseorang telah menyewanya? Aku juga melirik ke tempat gaun
yang menjadi pilihan Meli yang juga sudah tak ada di sana. Barangkali Meli
sudah menyewanya. Uang 300.000 tak terlalu berat bagi Ibunya yang seorang guru.
Pupus sudah harapanku
untuk mendapatkan gaun itu. Mungkin aku memang tidak bisa pergi ke pesta itu
besok malam. Ketika langkahku hampir tiba di ujung pintu, tiba-tiba sorang
pelayan memanggilku.
“Maaf, apa betul ini
dengan Mbak Priska?” Tanya pelayan tersebut.
“Iya betul, ada apa ya
mbak?” tanyaku.
“Sebentar mbak, ada
titipan buat Mbak Priska”, jawab pelayan tersebut sambil menyerahkan sebuah
bingkisan besar.
“Bingkisan?”pikirku. Lalu
aku membukanya. Ternyata gaun jingga itu, dan ada sepasang sepatu kaca yang
indah sekali. Tapi siapa yang memberi bingkisan itu?
“Gaun dan sepatu ini
sudah disewakan untuk Mbak Priska, bisa dikembalikan 2 hari ke depan”, kata
pelayan tersebut menjelaskan.
Aku yang tak banyak
bertanya membawa bingkisan itu setelah mengucapkan terima kasih.
Keesokan harinya aku
berangkat sekolah seperti biasa, namun kali ini aku berangkat lebih siang dari
biasanya. Sesampainya di sekolah, tampak Meli sudah berdiri di dekat pintu
gerbang. Aku tahu dia sedang menungguku. Wajahnya tampak cemas, mungkin karena
kejadian kemarin.
Ketika melihat
kedatanganku, Meli langsung menginterogasiku, namun aku menjawab seolah tidak
terjadi apa-apa. Tepat saat menaiki anak tangga, kami berpapasan dengan Indira
dan teman-temannya. Bibirnya masih terlihat lebam dan biru, namun anehnya dia
tak menunjukkan wajah marah atau pun hendak membalas dendam padaku. Aku sendiri
sudah bersiap-siap jika sewaktu-waktu dia hendak memukulku, sementara Meli
sudah ketar ketir melihat tanganku yang mengepal siap kapanpun hendak meninju.
Saat berpapasan dengan
Indira, dia tidak mengatakan hal yang macam-macam. Dia hanya tersenyum, namun
aku tahu senyuman itu tetaplah bukan senyuman bersahabat. Indira tersenyum dan
menepuk pundakku seraya berkata “tenang saja gadis kismin, aku tak akan melaporkan
ke pihak sekolah atas perlakuanmu kemarin, aku juga tidak akan menampar atau
memukulmu, tapi tunggu saja, aku punya kejutan yang lebih menarik untukmu” kata
Indira.
Aku tahu itu bukan
kalimat biasa, itu ancaman. Namun seperti biasa aku tidak takut apalagi gentar.
Sudah saatnya aku berontak dari perlakuan mereka yang selalu menghina dan
merendahkan kami.
“Baiklah, aku tunggu
kejutan darimu Indira”, balasku dengan tatapan tajam.
Aku segera beranjak pergi
meninggalkan Indira yang masih menatapku dengan senyuman sinisnya. Meli segera
mengikutiku dan berkali-kali mengingatkanku untuk tidak membuat masalah lagi
dengan Indira, bahkan dia menyuruhku untuk minta maaf. “Apa? Maaf? Hanya orang
bodoh yang mau melakukan hal semacam itu !”, jawabku. Meli hanya geleng-geleng
kepala mendengarnya.
Malam ini aku sudah siap
dengan gaun jingga dan sepatu kacaku. Aku dan Meli memutuskan untuk berhias di
salon terdekat. Meskipun bukan salon mahal, namun hasilnya lumayan memuaskan,
berkali-kali Meli dan pegawai salon memuji penampilanku malam ini.
Akhirnya malam ini semua
berjalan sesuai dengan yang kami harapkan. Meli nampak manis dengan gaun yang
ia pilih, dan sepatu warna senada di kakinya. Dengan penampilan serapi ini
nggak mungkin dong mau naik angkot, kami pun memutuskan untuk naik taksi. Wajah
kami terlihat senang, jarang sekali ada momen seperti ini, bisa naik taksi dan
berpenampilan serapi ini. Ini merupakan malam yang luar biasa bagiku dan tidak
akan aku lupakan seumur hidup.
Ternyata ekspetasi tak
selalu sama dengan realita. Aku pikir malam ini akan menjadi momen yang paling
membuatku bahagia. Namun ternyata aku salah, ada kejutan tak terduga yang
sedang menungguku di sana.
Awalnya aku dan Meli
tidak menyadari mengapa orang-orang di sekitar kami tiba-tiba menyalami kami
dan berubah menjadi sangat baik. Mereka pun tak henti memuji penampilan kami
malam ini. Aku melihat Dinda dengan gaun jingga dan mahkota kecil di kepalanya,
terlihat begitu cantik. Dua orang di sebelahnya pastilah orang tuanya, wajah
khas Kebaratannya tampak jelas di sana. Aku juga berpapasan dengan Indira,
namun kali ini dia terlihat sendiri tak bersama dengan teman-teman yang biasa
bersamanya. Indira tersenyum sinis padaku, aku tak mempedulikannya.
Tepat saat acara akan
dimulai, tiba-tiba terdengar suara gaduh dari belakang panggung. Aku melihat
Indira dan teman-temannya menarik seoeang wanita tua menuju ke atas panggung.
Aku sangat terkejut, “Apa maksudnya? Kenapa ada Ibu di sana?” Aku tidak tahu
apa yang dipikirkan Indira.
“Perhatian sebentar, ada
pengumuman penting yang harus kalian ketahui !” Tampak Indira memberikan
instruksi. Sementara orang-orang yang hadir seketika menoleh ke arah sumber
suara.
Aku melihat ekspresi
wajah Ibu yang tampak cemas, aku sendiri tidak tahu kenapa ibu bisa ada di
sini.
“Malam ini saya akan
menyampaikan informasi yang sangat berharga”, Indira melirikku sambil
melambaikan tangan. Aku mulai mencium gelagat tidak baik, perasaanku tidak
enak. Aku segera berjalan menuju panggung, namun 2 tangan menahanku.
“Mau kemana gadis miskin
anak yatim, serta Ibu buta yang malang?” Dua orang yang menahanku ialah teman
Indira. Mereka sengaja merencanakan ini padaku, mereka sengaja ingin
mempermalukanku untuk membalas dendam atas kejadian kemarin. Sekarang aku paham
dengan kalimat Indira pagi tadi di sekolah. Namun semua ini sekarang sudah
terlambat, aku hanya bisa menyaksikan wajah ibu yang tak mengerti apa-apa itu
dipermainkan oleh si biang kerok Indira. Tapi...bukan itu, bukan ibu yang aku
cemaskan. Namun aku mencemaskan nasibku kalau sampai seluruh undangan tahu
kalau aku anak seorang wanita buta yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga,
bukan hanya seluruh undangan melainkan berita ini akan segera menyebar di
sekolah. Aku menatap Indira dengan wajah memelas, berharap dia tidak sekejam
itu, namun gadis seperti dia mana mungkin punya hati.
“Teman-teman yang hadir
di sini, kalian semua tahu siapa wanita buta yang berdiri di sampingku
ini?”Kata Indira. Wanita buta ini sudah lama menjanda ditinggal mati suaminya.
Pekerjaannya adalah seorang pembantu di rumah Dinda, selain itu dia memiliki 1
orang anak perempuan yang sebaya dengan kita, “ Indira menatapku lagi. Dan
kalian tahu siapa anak perempuan dari wanita buta ini? Dia adalah Priska Putri
Riana,” kata Indira.
Spontan seluruh tamu
undangan pun riuh dan semua mata tertuju padaku. Namun aku tak mau tinggal
diam, aku pun segera naik ke panggung dan merebut mix yang digenggam oleh
Indira.
“Bohong !” Teriakku. Aku
bukanlah anak dari wanita buta ini ! Ibuku sudah lama meninggal, tidak mungkin
aku memiliki seorang ibu yang buta, miskin dan pembantu !” Kataku lagi.
Ibu yang berdiri di
sampingku terperangah mendengar kalimatku. Matanya kini berurai air mata,
bibirnya bergetar, wajahnya memerah, nafasnya tersengal. Aku tak merasa
bersalah sedikitpun, aku menganggap itu adalah sebuah pembelaan diri terutama
atas kenyataan hidupku yang tak adil ini.
“Priska ! Nak ! Kamu
bilang apa barusan?” Ibu yang semula hanya diam kini berbicara.
“Jangan mengaku-ngaku
sebagai ibuku, karena ibuku sudah lama meninggal !” Teriakku lagi.
“Astaghfirullah...aku ibu
kandungmu Priska ! Kenapa kamu berbicara begitu pada ibu nak?” kata ibu.
Tiba-tiba sebuah tamparan
keras mendarat di pipiku. Siapa? Siapa yang berani menamparku? Lancang sekali, Meli
kah yang melakukannya? Si anak bodoh itu?” batinku.
Namun ternyata aku salah,
bukan Meli yang menamparku melainkan Dinda.
“Pergi kamu anak durhaka,
jangan hancurkan acara pestaku ! Teriak Dinda. “Kamu juga pergi si biang kerok,
aku nggak mau melihat muka kamu di sini !” Kata Dinda lagi.
Aku segera turun dari
panggung dan berlari menjauh. Dari kejauhan aku melihat Dinda memeluk ibu yang
tak sadarkan diri. Malam itu, gerimis turun membasahi gaun jingga yang ku
kenakan, hancur sudah kebahagiaanku malam ini.
Sudah 3hari aku membolos
sekolah, dan sudah 3hari aku tidak pulang. Aku memutuskan untuk menginap di
kostan teman lamaku. Berkali-kali Meli menghubungiku, namun aku tak
menghiraukannya.
Tepat di hari ke 4,
sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak ku kenal. Itu pesan dari Dinda, dia
memberi kabar bahwa ibu sedang koma di rumah sakit. Aku tak merasa terkejut
mendengar kabar itu, bisa jadi ini hanya akal-akalannya supaya aku pulang dan
menemui ibu. Belum lama aku menerima pesan itu, tiba-tiba terdengar suara pintu
di ketuk.
Aku membuka pintu dan
melihat siapa yang berdiri di sana.
“Kamu?” tanyaku kaget.
“Iya ini aku”, gadis yang
berdiri di depanku adalah Dinda. Dinda menatapku, matanya terlihat sembab
seperti habis menangis, bibirnya gemetar. “Boleh aku masuk?”Katanya lagi.
“Tidak, mau apa kamu ke
sini? Kamu mau menyuruhku pulang?” Jawabku. “Sudah cukup aku dipermainkan oleh
keadaan ini, mulai sekarang aku akan hidup dengan caraku sendiri walau harus
tanpa Ibu sekalipun ! Lagipula apa pedulimu padaku dan juga ibu?” Jawabku lagi.
Kali ini Dinda menarik
lenganku, dia membawaku ke sebuah taman. Kemudian tangannya meraih sebuah map
dari dalam tasnya.
“Kamu boleh membenci
nasibmu, tapi jangan benci ibumu Priska ! Dia sudah banyak berkorban untukmu,”
kata Dinda. “Kamu tahu kenapa ibumu bisa buta? Itu karena dia menyelamatkan aku
dari kecelakaan beberapa tahun yang lalu, Kata Dinda lagi.
“Itulah kebodohan ibu,
hidup sudah susah tapi masih memikirkan orang lain !”Jawabku.
“Priska...terbuat dari
apa hati kamu ini?” Kalau bukan karena Ibumu, kamu nggak akan pernah bisa sekolah
di SMA Pelita Kencana,” Kata Dinda sambil menunjukkan sebuah dokumen kepadaku.
Aku meraih dokumen
tersebut di sana tertulis perjanjian 2 belah pihak. Dimana ibu mendapat hak
penuh atas beasiswa sekolahku hingga sarjana dengan uang beasiswa dari sebuah
lembaga ternama. Ibu mendapatkan itu karena dia memenangkan kompetisi hafalan
Al-Qur’an tingkat nasional. Di sana tertulis, setelah aku menyelesaikan
pendidikan SMA, aku akan dikuliahkan di Kairo di sebuah universitas ternama.
Aku terperangah tak percaya.
“Ini pasti bohong
!”Jawabku masih tak percaya.
“Ini bukan kebohongan
Priska ! Ibumu itu wanita yang hebat ! Dia sangat cerdas ! Kamu tahu setiap
pulang sekolah, dengan bermodalkan matanya yang buta, dia mengajariku semua
mata pelajaran di sekolah. Dengan begitu aku tidak perlu menyewa guru les lagi
karena aku merasa sangat nyaman belajar padanya,” Kata Dinda. “Apa kamu tahu
siapa yang menyewakan gaun dan sepatu itu?”Tanya Dinda lagi.
Aku menggeleng.
“Ibumu yang
menyewakannya. Uang penghasilannya selama ini memang sengaja ia simpan, supaya
nanti bisa menjadi bekal untuk masa depan kamu. Dia ingin mengajarkanmu tentang
arti kesederhanaan. Aku dan keluargaku sangat behutang budi padanya, namun
ibumu selalu melarangku untuk mengatakan ini padamu,”Kata Dinda lagi.
“Lalu kenapa ibu tidak
mengatakan jika dia bekerja di rumahmu?”tanyaku.
“Karena kamu sendiri
tidak pernah menanyakan apapun pada ibumu Priska ! Kamu tidak pernah peduli
pada semua pekerjaannya, kesibukannya. Kamu hanya memikirkan diri kamu sendiri,
kamu selalu disibukkan dengan keluhan-keluhanmu !”Kata Dinda.
Aku terdiam, tanpa terasa
air mataku mengalir. Terbayang wajah lelah ibu yang menyiapkan makanan, yang
selalu bekerja tanpa lelah, yang selalu tersenyum. Ibu yang selalu berkata
lembut meskipun berkali-kali aku menyakitinya, ibu yang selalu menyayangi aku
yang tak pernah peduli padanya.
Aku menangis tergugu, aku
ingin memeluk ibu. Maafkan aku ibu...aku telah menjadi anak yang durhaka, air
susu telah aku balas dengan air tuba.
“Dimana ibu sekarang?”
Tanyaku lirih.
“Di rumah sakit Cipto
Mangunkusumo,” jawab Dinda.
“Bawa aku ke sana Dinda,
aku ingin bertemu dengan Ibu”, kataku terbata-bata.
**********************
Sore itu langit mendung,
aku menatap wajah ibu yang terbaring koma. Aku mecium dan memeluknya. Kapan?
Kapan terakhir kali aku mencium dan memeluk ibu? Sudah lama sekali aku tidak
melakukannya, sejak aku sibuk dengan penolakan-penolakan atas nasib hidupku,
sejak aku berubah acuh pada setiap helai ketulusannya. Ibu...bangunlah, maafkan
anakmu ini bu.
TAMAT
Komentar
Posting Komentar